Senin, 27 Juni 2011

KEUTAMAAN MENYANTUNI ANAK YATIM

Sahabat RKF ! Islam telah mendorong pemeluknya agar memiliki akhlak mulia. Salah satu akhlak mulia itu adalah menyantuni anak yatim. Sesungguhnya, anak yatim adalah manusia yang paling membutuhkan pertolongan dan kasih sayang. Karena ia adalah anak yang kehilangan ayahnya pada saat ia sangat  membutuhkannya. Ia membutuhkan pertolongan dan kasih sayang kita, karena ia tidak mungkin mendapatkan kasih sayang ayahnya yang telah tiada. Jika anda melihat seseorang yang penyayang kepada anak-anak yatim dan menyantuni mereka, maka ketahuilah bahwa ia adalah seorang yang berbudi dan berakhlak mulia.
Suatu ketika Saib bin Abdulloh rodhiyallohu ‘anhu datang kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam, maka Nabi sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya :
  “Wahai Saib, perhatikanlah akhlak yang biasa kamu lakukan ketika kamu masih dalam kejahiliyahan, laksanakan pula ia dalam masa keislaman. Jamulah tamu, muliakanlah anak yatim, dan berbuat baiklah kepada tetangga.” [HR.Ahmad dan Abu Dawud, Shohih Abu Dawud, Al-Albani : 4836]
Dalam sebuah atsar disebutkan riwayat dari Daud ‘alaihissalam, yang berkata :
 “Bersikaplah kepada anak yatim, seperti seorang bapak yang penyayang.” [HR. Bukhori]
Ketua Rumah Kreatif Elfatih Asep Saefullah sedang menyalurkan beasiswa yatim
Sahabat ! Kasih sayang dan berbuat baik kepada anak yatim, sebagaimana yang telah saya katakan kepada anda, adalah sebagian dari akhlak dan moralitas orang-orang yang mulia. Itu tidak bisa dilakukan kecuali oleh seorang lelaki yang mulia, yang menghimpun banyak budi pekerti mulia, yang mencintai kebajikan.
Abdullah bin Umar rodhiyallohu ‘anhu  tidak pernah memakan makanan kecuali dimeja makannya ada seorang anak yatim yang makan bersamanya. Jadilah orang seperti itu, saudaraku ! Seorang yang penyantun, lemah lembut, dan berupaya berbuat kebaikan kepada anak yatim, mengusap air mata mereka dengan tangan dan harta anda serta memasukkan perasaan gembira ke dalam hati mereka. Ketahuilah, bahwa jika anda mendapat taufiq untuk melaksanakan itu, maka anda benar-benar manusia yang beruntung. Yang berhak mendapat gelar “Seorang yang Berbudi”.
KEPADA ANDA YANG INGIN MENEMANI NABI DI SURGA
Sahabat ! Masuk surga adalah kesuksesan paling tinggi yang diraih oleh orang-orang yang beriman.
Bagaimana pula dengan menemani Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam didalamnya? Itu adalah derajat yang akan diraih oleh orang-orang yang menyantuni anak yatim.
Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
“Aku dan orang-orang yang mengasuh/menyantuni anak yatim di Surga seperti ini”, Kemudian beliau memberi isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah seraya sedikit merenggangkannya. [HR. Bukhori].
Imam Ibnu Bathol rohimahulloh berkata : “Orang yang mendengar hadis ini wajib melaksanakannya, agar ia bisa menjadi sahabat NabiShallallaahu ‘alaihi wa Sallam di surga. Di akhirat, tidak ada kedudukan yang lebih utama dari itu.” Al-Hafizh Ibnu Hajar rohimahulloh berkata : “Isyarat ini cukup untuk menegaskan kedekatan kedudukan pemberi santunan kepada anak yatim dan kedudukan Nabi, karena tidak ada jari yang memisahkan jari telunjuk dengan jari tengah.”
Sahabat muslim ! Tahukah anda, apa hasil yang akan diperoleh dengan menyantuni dan mengasihi anak yatim, apa sikap  anda, saudaraku, terhadap kebaikan ini ? Jika anda termasuk orang-orang yang mampu, apakah anda pernah berpikir untuk menyantuni seorang anak yatim, sehingga anda bisa menjadi sahabat nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam di surga. Untuk menyantuni anak yatim anda tidak harus memiliki kekayaan yang melimpah. Melainkan, siapa yang memungut seorang anak yatim, memberinya makanan dengan makanan yang sehari-hari yang dimakannya, memberinya minum dengan minuman yang bisa diminumnya, maka ia akan memperoleh kedudukan tersebut.
Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
“Barang siapa yang mengikutsertakan seorang anak yatim diantara dua orang tua yang muslim, dalam makan dan minumnya, sehingga mencukupinya maka ia pasti masuk surga.” [HR. Abu Ya'la dan Thobroni, Shohih At Targhib, Al-Albaniy : 2543].
Siswa siswi yatim penerima beasiswa program Bina Yatim Mandiri Rumah Kreatif Elfatih
Wahai anda  yang ingin memperoleh apa yang bermanfaat bagi dirinya, jika anda mendapat kesempatan untuk menyantuni anak yatim, jangan sekali-kali anda sia–siakan. Jika anda tidak menyukai hal itu dan menyia-nyiakannya, maka pikirkanlah pahala bagi orang yang menyantuni anak yatim. Tidakkah anda ingin menjadi sahabat Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam di sorga ?!.
MULIAKANLAH ANAK YATIM, NISCAYA HATIMU MENJADI LUNAK DAN KEBUTUHANMU TERPENUHI
Saudaraku muslim ! Jika anda mengeluhkan hati anda yang keras, maka menyantuni anak yatim merupakan sarana yang bisa menjadikan hati lunak. Ia adalah obat yang diwasiatkan oleh Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam yang telah diutus dengan membawa petunjuk dengan kebenaran Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam.
Diriwayatkan oleh Abu Darda’ rodhiyallohu ‘anhu   yang berkata : 
Ada seorang laki-laki yang datang kepada nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam mengeluhkan kekerasan hatinya. Nabipun bertanya : sukakah kamu, jika hatimu menjadi lunak dan kebutuhanmu terpenuhi ? Kasihilah anak yatim, usaplah mukanya, dan berilah makan dari makananmu, niscaya hatimu menjadi lunak dan kebutuhanmu akan terpenuhi.” [HR Thobroni, Targhib, Al Albaniy : 254]
Saudaraku Muslim ! Sesungguhnya, mengasihi anak yatim merupakan sarana untuk melunakkan hati dan mengupayakan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan.
Sebab, orang yang mengasihi anak yatim telah memposisikan diri seperti ayahnya. Seorang ayah, secara naluriyah memiliki karakter sayang dan mengasihi anak-anaknya. Adapun orang yang mengasihi anak yatim memiki satu sifat lain, yaitu mengasihi anak yang bukan anak kandungnya.
Barang siapa keadaannya seperti itu maka dihatinya terhimpun sarana-sarana yang bisa melembutkan hatinya, sekalipun sebelumya merupakan hati yang keras.
Tidak diragukan lagi ini merupakan obat yang mujarab. Anda tidak akan pernah mendapati orang yang menyantuni anak yatim, kecuali pasti memiliki hati yang pengasih.
Kebalikan dari ini, anda tidak akan menjumpai seorangpun yang tidak mengasihi anak yatim, kecuali ia memiliki hati yang keras dan berakhlak buruk.
Manfaat lain dari tindakan mengasihi anak yatim yang telah dikabarkan oleh nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam kepada seorang yang bertanya kepada beliau adalah : bahwa meyantuni anak yatim merupakan sarana terpenuhimya kebutuhan dan terwujudnya apa yang dicari
Sesungguhnya, orang yang berbuat kebaikan kepada anak orang lain adalah orang yang telah memasukkan rasa gembira dihati mereka. Tidak diragukan lagi, Alloh pasti tidak akan menyia-nyiakannya, karena Alloh Ta’ala Maha Pengasih dan Mencintai semua orang yang pengasih.
Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : 
“Orang-orang yang pengasih, akan dikasihi oleh Ar Rohman (Yang Maha Pengasih) Tabaaroka wa ta’ala. Kasihilah siapa yang ada dibumi niscaya engkau dikasihi oleh yang di langit.” [HR. Abu dawud, Tirmidzi dan lain-lain. As silsilatu shohihah : 925].
Saudaraku muslim! Kasihilah anak yatim, niscaya Alloh akan memperbaiki urusan dunia dan akhiratmu. 
BAGAIMANA CARA BERBUAT BAIK KEPADA ANAK YATIM
Saudaraku muslim ! Berbuat baik kepada anak yatim, bisa dengan beberapa cara :
1.               Memberinya makan dan pakaian, serta menanggung kebutuhan-kebutuhan pokoknya. Di atas telah disampaikan kepada anda keutamaannya.
2.               Mengusap kepalanya serta menunjukkan kasih sayang kepadanya. Tindakan ini akan mempunyai pengaruh besar terhadap kejiwaan anak yatim. Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhu  jika melihat anak yatim, beliau mengusap kepalanya dan memberinya sesuatu.
3.               Membiayai sekolahnya, sebagaimana seseoang  ingin menyekolahkan anaknya.
4.               Mendidiknya dengan ikhlas, sebagaimana keikhlasanya dalam mendidik anak kandungnya sendiri.
5.               Jika ia melakukan perbuatan yang mengharuskan di beri hukuman maka bersikap lemah-lembut dalam mendidiknya.
6.               Bertakwa kepada Alloh dalam mengelola harta anak yatim, jika anak yatim itu mempunyai harta kekayaan. Jangan sampai hartanya di habiskan karena menginginkan agar anak yatim itu kelak tidak meminta hartanya kembali. Sebaliknya, hartanya harus di jaga, sehinga ketika ia telah dewasa, harta tersebut dikembalikan kepadanya.
7.               Mengembangkan harta anak yatim dan bersikap ikhlas di dalamnya, sehingga hartanya tidak habis oleh zakat.

Anak-anak yatim penerima beasiswa Bina Yatim Mandiri Rumah Kreatif Elfatih
Saudaraku Muslim ! Inilah beberapa gambaran tentang cara berbuat baik kepada anak yatim. Berbuat baik kepada anak yatim tidak hanya diperintahkan kepada orang-orang tertentu, akan tetapi setiap muslim diperintahkan untuk itu sebagaimana ia diperintahkan untuk melaksanakan semua amal yang baik dan sholih.
Jika Alloh ta’ala mengetahui ketulusan niat seorang hamba, niscaya Dia akan membantunya dalam melaksanakan perbuatan baik. Maka, hendaklah engkau berkeinginan kuat untuk melasanakan amal-amal shalih, walaupun baru sekedar berniat di hati sampai suatu saat Alloh memberikan kesempatan anda untuk melakukan amal solih.
Sungguh, tidak ada orang yang lebih lemah daripada orag yang tidak mampu menyelinapkan niat di hatinya untuk melasanakan amal-amal sholih.
KEPADA SETIAP MUSLIM
Saudaraku Muslim ! Berbuatlah baik kepada anak yatim, selain merupakan akhlak yang mulia yang diserukan oleh Islam, ia juga hanya dilaksanakan oleh orang-orang yang berhati penyayang dan berjiwa bersih.
Masyarakat muslim, adalah masyarakat yang diikat oleh ajaran-ajaran mulia yang diserukan oleh Islam.
Ia adalah masyarakat yang telah digambarkan oleh Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam dalam penggambaran beliau yang indah, ketika beliau bersabda : 
“Engkau melihat orang-orang beriman itu dalam hal kasih sayang dan saling mencintai di antara mereka, adalah seperti satu tubuh, jika ada satu organ yang mengeluh (sakit), maka seluruh tubuh akan merasakan sakit dengan tidak tidur dan panas.” [HR. Bukhori dan Muslim, redaksi ini terdapat dalam riwayat Bukhori.]
Penggambaran ini memberitahukan kepada anda, bagaimana seyogyanya keadaan dalam masyarakat muslim ini.
Anak yatim adalah bagian dari masyarakat muslim itu. Ia berhak terhadap apa yang menjadikan hak anggota masyarakat muslim lainnya, dan berkewajiban sebagaimana kewajiban masyarakat anggota muslim lainnya. Seluruh kaum muslimin wajib berbuat baik kepada anak yatim, menyantuninya, dan menggantikan kasih sayang ayahnya, serta memberikan kepadanya apa yang biasa mereka berikan kepada anak-anak dan istri mereka.
Saudaraku Muslim ! Tidaklah sulit bagi anda untuk memungut seorang anak yatim, memberi makanan seperti yang biasa anda makan sehari-hari, memberi pakaian seperti pakaian yang biasa anda pakai, dan menjadikannya sebagai salah seorang anak  anda.
Hendaklah, perbuatan baik anda ini didasarkan niat tulus untuk mencari ridho Alloh Ta’ala. Dengan harapan, anda bisa menjadi salah seorang dari mereka yang digambarkan oleh Alloh Ta’ala dalam firmannya :
“Dan merka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhoan Allah,kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan (adzab) Tuhan kami pada suatu hari yang (dihari) orang-orang bermuka masam penuh kesakitan. Maka Alloh memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepda mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati. Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutra.” [Al-Insan : 8-12]

Semoga Alloh memberikan taufiq kepadaku, kepada anda, saudaraku muslim, untuk melakukan amal-amal sholih. Semoga Alloh menolongku, juga anda semua untuk tetap melaksanakan amal-amal sholih itu sampai tiba kematian.
Segala puji bagi Allah Subhaanahu wa Ta’aala Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada nabi kita, Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam, juga kepada segenap kerabat dan sahabat serta pengikutnya yang setia hingga hari kiamat.

Senin, 11 April 2011

PENDIDIKAN GENERASI MUDA


Pendidikan Dalam Sekilas Makna
            Istilah pendidikan, secara etimologis --menurut bahasa-- merupakan padanan kata dalam bahasa Indonesia dari istilah education dalam bahasa inggris atau educar, dalam bahasa latin yang artinya “mengantar keluar”, dalam istilah bahasa Arab terdapat dua versi dominan yakni sebagian mengatakan Tarbiyah dan yang lainnya lebih suka menyebut ta’dib agar didalamnya mengandung arti adab,keadilan dan ketidak bingungan.
Dalam karyanya yang berjudul Philosophy of education, Ruper C Lodge, mengungkapkan bahwa pendidikan itu adalah kehidupan, dan hidup adalah pendidikan. Ia mendifinisikan”.. The word education is used, sometimes in a wider, sometimes is narrower sense. In the wider sense, all experience is said to be educative …… life is education and  education is life”.
 Apapun sebutannya dan istilahnya, esensi pendidikan adalah suatu epistimologi (istilah) mendasar yang berimplikasi luas dan lebar, yang merupakan proses aktif yang melibatkan seluruh ekponen inhern (perangkat bawaan) manusia berpadu dengan segenap dimensinya --multi dimensional-- yang  diatasnya menjadi tempat dibangunnya suatu  gerak (activity) baik jasmani atau rohani yang tidak lagi kosong nilai. Nilai baik dan buruk, benar dan salah atau pantas dan tidak pantas akan memancar dari aktifitas yang dilahirkan dari proses pendidikan terseabut. Manusia sebagai bagian dari alam, perbuatannya, aktifitasnya, keputusannya secara niscaya akan berimplikasi luas pada alam sekitarnya. Gerak manusia akan membawa dampak terhadap alamnya, komunitasnya dan bahkan pada dirinya sendiri.
Dalam pendidikan Islam, gerak (motoric) yang lahir dari akumulasi proses yang mendasar tersebut menurut Ahmad  Marimba, diharapkan mencerminkan bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani siterdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama, melalui proses (a) pembiasaan (b) pembentukan pengertian, sikap dan minat (c) Pembentukan kerohanian yang luhur.
Pendidikan dan Generasi Islami
Menyoal generasi muda tidak dapat dipisahkan dari persoalan potensi besar yang terpendam dibalik fisik mereka yang relatif difahami lebih kuat dan perkasa. Potensi tersebut tidak seperti yang dimiliki oleh mahluk lain, yang dapat dengan sendirinya terbentuk dan berkembang secara kudrati (natural behaviour) –sunnatullah. Mahluk lain akan menemukan  bentuk karakternya secara mandiri dan bersifat automatically begitu ia terlahir – meskipun beberapa kasus binatang tergolong Animal educable -- bahkan beberapa binatang lain memperoleh karakter dari jenis kebinatangannya bersamaan dengan kelahirannya.  Sedangkan manusia, tidak dapat menemukan kemanusiaannya secara niscaya, man’s natural powers bukan hanya butuh proses yang panjang melainkan juga sekaligus harus benar dan terarahkan. Ini menunjukkan bahwa manusia untuk menjadi manusia perlu jedah tertentu untuk dididik -- homo educandum = mahluk yang harus dididik --  secara continum (berkesinambungan) terarah dan secara materi harus terkandung suatu nilai kebenaran. Meskipun kenyataannya pada setiap proses yang sama tersebut dengan individu yang berbeda tidak selalu berakhir dengan hasil yang sama. Hal ini menunjukkan kompleksitas dalam proses pembentukan kemanusiaan pada seorang manusia.
Menurut Dra. Zuhairini, dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, Pendidikan dalam pengertian yang luas adalah meliputi semua perbuatan atau semua usaha dari generasi tua untuk mengalihkan (melimpahkan) pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya serta ketrampilannya kepada generasi muda, sebagai usaha untuk menyiapkan mereka agar dapat memenuhi fungsi hidupnya, baik jasmaniah maupun rohaniah. Dalam kontek ini, generasi muda sebagai manusia selalu berhasrat pada pendidikan, karena memang secara umum tanpa mempersoalkan hirarkinya bahwa kebutuhan dasar manusia adalah (a) Kebutuhan biologis, (b) Kebutuhan psikis, (c) kebutuhan social, (d) Kebutuhan agama (spiritual) dan (e) Kebutuhan paedagogis (intelektual).
Jadi tidak dapat ditawar lagi, bahwa pendidikan memiliki relevansi dan implikasi yang luar biasa dalam wacana pembentukan generasi muda. Oleh karena itu dunia pendidikan Islam harus concern terhadap persoalan generasi muda, sebab pendidikan merupakan proses yang representatif terhadap pembentukan generasi yang Islami, yaitu sebuah generasi yang cinta kepada Allah dan Allah mencintai mereka, lemah lembut terhadap orang yang mu’min, bersikap keras (tegas) terhadap orang-orang kafir, berjihat di jalan Allah, tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. (QS. Al maidah ayat 54).
Unsur Persoalan Makro
Pendidikan sebagai sebuah sistem, sangat tergantung pada harmonitas antara usaha (kegiatan), pendidik, terdidik, tujuan, dan alat atau sarana pendidikan. Lima unsur dalam proses pendidikan tersebut harus terbentuk dalam sebuah integritas yang sebangun. Sebagai sistem, tidak ada yang tidak penting atau paling penting, bagaimanapun  kecilnya ketidak seimbangan pada salah satu unsur tersebut, akan berakibat tidak tercapainya cita-cita sebuah proses. Lain dari pada itu, sebetulnya cukup banyak sub-ordinasi yang mempengaruhi proses pendidikan, namun kita akan coba berangkat dari persoalan-persoalan makro pendidikan.
Pertama, usaha atau kegiatan pendidikan harus bersifat bimbingan, pertolongan, pembinaan yang dilakukan secara sadar baik oleh pendidik dan atau terdidik. Dalam teori progressivisme kegiatan pendidikan harus bersifat fleksibel atau The liberal road to culture, tidak kaku, toleran, open-minded, corious (ada rasa ingin tahu yang besar dari terdidik).
Dr Jalaluddin dalam bukunya “filsafat pendidikan Islam, konsep dan perkembangan”, mengatakan bahwa secara normatif kegiatan pendidikan islam bertujuan menolong anak didik mengembangkan kemampuan individunya, membiasakan anak didik membentuk sikap diri, membantu anak didik bertindak efektif dan efesien, membimbing aktifitas anak didik
Kedua, Pendidik sebagai sumber informasi harus mampu menguasai metode sekaligus materi pengajaran. Pendidikan tinggi yang berkompeten dengan dunia pendidikan – fakultas keguruan misalnya -- senyatannya lebih banyak menghasilkan pelaku pendidikan yang menguasai metode mengajar dari pada materi yang diajarkan. Sebaliknya fak-fak yang non keguruan menguasai materi namun lemah dalam metode mengajar. Kedua kemampuan tersebuat (menguasai metode dan meteri) harus menjadi kemampuan yang akumulatif dari seorang pendidik.
Ketiga, Terdidik tidak hanya sebagai obyek dan terget yang pasif, tetapi harus menjadi subyek yang aktif, memiliki motivasi yang sama untuk mewujudkan sebuah proses pendidikan. Keberhasilan sistem harus menjadi tanggung jawab semua komponen pendidikan, tidak hanya guru yang bertugas mendisiplinkan murid, tetapi murid harus punya rasa butuh terhadap prilaku disiplin. Bukan hanya kepala sekolah yang bertanggung jawab terhadap keaktifan guru, tetapi guru harus punya pertalian terhadap apa yang terbaik bagi anak didik dan sekolah. 
Keempat, Pendidikan harus mempunyai dasar dan Tujuan  yan jelas. Menurut faham esensialisme, bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang jelas dan tahan lama sehingga memberi kestabilan dan arah yang jelas pula.Bahkan aliran Perennialisme (perennial=Abadi atau kekal) memandang sangat penting berpegang pada nilai-nilai norma-norma yang bersifat kekal abadi,  dalam oxford advanced learner’s dictionary of current English tentang norma yang abadi ditulis”Countinuing throughout the whole year” atau “lasting for a very long time “. Keabadian inilah yang menjadi bidikan dari tujuan pendidikan. Kita perlu melakukanrestore to the original form atau merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudyaan yang samasekali baru. Menurut Muhammad Iqbal, Manusia harus memiliki prinsip-prinsip abadi untuk mengatur seluruh kehidupannya, karena prinsip yang abadi memberi kita pijakan yang kokoh di dunia yang senantiasa berubah. Orientasi pendidikan kita bukan sekedar selembar ijazah, NEM yang tinggi, lapangan pekerjaan, dan peningkatan statsus atau aktualisasi diri. Tetapi lebih jauh dari itu, yakni menggapai nilai-nilai kemanusiaan dan pembentukan kepribadian berdasarkan nilai keabadian yaitu Qur-an dan Hadits.
Kelima, Alat/sarana yang cukup untuk melaksanakan pembelajaran. Alat yang memadai tidak diukur dari mahal dan canggihnya, tetapi lebih pada fungsionalisme alat dan sarana sesuai dengan kebutuhan sehingga lebih efesien dalam menunjang proses pendidikan. Namun demikian, dunia pendidikan tidak boleh menutup mata terhadap perkembangan sarana pendidikan yang serba mutakhir, paling tidak harus mampu memanfaatkan segala sarana yang ada secara optimal. Bahkan karena hasil tehnologi itu bersifat value free (bebas nilai) hampir seluruh perkembangan tehnologi dapat dijadikan sarana pendidikan baik yang bernuasa merusak maupun membangun.

Kamis, 17 Maret 2011

Jangan Salah Cara dalam Mencintai Nabi Kita!

Oleh: Badrul Tamam
Mencintai Nabi shallallahu 'alaihi wasallam termasuk ushul iman (pokok keimanan) yang bergandengan dengan cinta kepada Allah 'Azza wa Jalla. Allah telah menyebutkannya dalam satu ayat dengan menyertakan ancaman bagi orang yang lebih mendahulukan kecintaan kepada kerabat, harta, negara serta lainnya daripada cinta kepada keduanya.
قُلْ إِن كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُواْ حَتَّى يَأْتِيَ اللّهُ بِأَمْرِهِ
"Katakanlah: "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik"." (QS. Al Taubah: 24)
Keimanan seorang muslim tidak akan sempurna kecuali dengan mencintai utusan Allah kepada mereka, yaitu Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Bahkan, tidak sah imannya kecuali dengan lebih menghormati kedudukan beliau daripada ayahnya, anaknya, dan orang telah berbuat baik dan membantunya. Siapa yang tidak memiliki aqidah seperti ini, maka bukan seorang mukmin.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
Tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian, sampai aku lebih ia cintai daripada anaknya, orangtuanya, dan manusia seluruhnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Menurut Ibnu Baththal, makna hadits ini adalah orang yang sempurna imannya pasti tahu bahwa hak Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lebih utama baginya daripada hak bapaknya, anaknya, dan seluruh manusia. Karena melalui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kita terselamatkan dari neraka dan diselamatkan dari kesesatan."
Bahkan, tidak sah imannya kecuali dengan lebih menghormati kedudukan beliau daripada ayahnya, anaknya, dan orang telah berbuat baik dan membantunya.
Siapa yang tidak memiliki aqidah seperti ini, maka bukan seorang mukmin.
Ketika Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu menggambarkan kecintaannya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dan  menempatkan posisi cintanya kepada beliau di bawah kecintaannya terhadap dirinya sendiri, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menafikan kesempurnaan imannya hingga dia menjadikan cintanya kepada beliau di atas segala-galanya.
Maka wajib mendahulukan dan mengutamakan kecintaan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam atas kecintaan kepada diri sendiri, anak, kerabat, keluarga, harta, dan tempat tinggal serta segala sesuatu yang sangat dicintai manusia.
Memang setiap orang berhak untuk mengklaim dirinya sebagai pencinta Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, namun klaim tersebut tidak akan bermanfaat jika tidak dibuktikan dengan ittiba’ (mengikuti sunnahnya), taat dan berpegang teguh pada petunjuknya.
Al Qadli 'Iyadl rahimahullah, berkata: "di antara bentuk cinta kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah dengan menolong sunnahnya, membela syariahnya, berangan-angan hidup bersamanya, . . . "
Ibnu Rajab, dalam Fathul Bari Syarh Shahih al Bukhari, menyebutkan bahwa kecintaan bisa sempurna dengan ketaatan, sebagai firman Allah Ta'ala:
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ
"Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku." (QS. Ali Imran: 31)
Karenanya klaim cinta kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak dapat diterima dengan sekadar memeringati hari kelahiran beliau. Namun, perilaku banyak menyimpang dan tidak sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
Sejarah Peringatan Maulid Nabi
Dalam sejarah pun, motivasi orang-orang yang mula-mula melakukan peringatan maulid Nabi, yaitu pengikut mazhab Bathiniyyah tidak didasari rasa cinta kepada beliau, tapi untuk tujuan politis.
Pelopor pertama peringatan maulid Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah Bani Ubaid al-Qaddaah atau yang lebih dikenal dengan al-Fathimiyyun atau Bani Fathimiyyah pada pertengahan abad ke empat Hijriyah, setelah berhasil memindahkan dinasti Fathimiyah dari Maroko ke Mesir pada tahun 362 H.
. .  motivasi orang-orang yang mula-mula melakukan peringatan maulid Nabi, mazhab Bathiniyyah, tidak didasari rasa cinta kepada beliau, tapi untuk tujuan politis.
Perayaan maulid diadakan untuk menarik simpati masyarakat yang mayoritasnya berada dalam kondisi ekonomi yang sangat terpuruk untuk mendukung kekuasaannya dan masuk ke dalam mazhab bathiniyahnya yang sangat menyimpang dari akidah, bahkan bertentangan dengan Islam.
Pakar sejarah yang bernama Al Maqrizy menjelaskan bahwa begitu banyak perayaan yang dilakukan oleh Fatimiyyun dalam setahun.
Beliau menyebutkan kurang lebih 25 perayaan yang rutin dilakukan setiap tahun dalam masa kekuasaannya, termasuk di antaranya adalah peringatan maulid Nabi. Tidak hanya perayaan-perayaan Islam tapi lebih parah lagi, mereka juga mengadakan peringatan hari raya orang-orang Majusi dan Nashrani yaitu hari Nauruz (tahun baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), dan hari Khamisul ‘Adas (perayaan tiga hari sebelum Paskah).
Fakta sejarah peringatan maulid yang tidak ditemukan pada masa Nabi  shallallahu 'alaihi wasallam dan masa tiga generasi pertama Islam yang disebut sebagai generasi terbaik umat ini, menyebabkan banyak di antara ulama yang mengingkarinya dan memasukkannya ke dalam bid'ah haram.
Tak dipungkiri, di antara ulama ada yang menganggapnya sebagai bid'ah hasanah (inovasi yang baik), selama tidak dibarengi dengan kemungkaran. Pendapat ini diwakili antara lain oleh Ibnu Hajar al Atsqalani dan as-Suyuti. Keduanya mengatakan bahwa status hukum maulid Nabi adalah bid’ah mahmudah (bid’ah terpuji). Tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, tetapi keberadaannya membawa maslahat walaupun juga tidak lepas dari berbagai mudharat.
Keabsahan peringatan maulid Nabi bagi mereka disandarkan pada dalil umum yang tidak berhubungan langsung dengan titik permasalahan, sedangkan para ulama yang menentangnya membangun argumentasinya melalui pendekatan normatif tekstual yang tidak ditemukan baik secara tersurat maupun secara tersirat dalam Al Quran dan al Sunnah, dan diperkuat dengan kaedah umum dalam ibadah yang menuntut adanya dalil spesifik yang menunjang disyariatkannya suatu ibadah.

Hujjah Pendukung Peringatan Maulid
Para pendukung maulid berusaha mencari dalil untuk melegitimasi bolehnya peringatan maulid tersebut, antara lain:
Pertama: Sikap Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ketika mendapatkan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Puasa tersebut adalah ungkapan syukur kepada Allah 'Azza wa Jalla atas keselamatan Nabi Musa dari kejaran Fir’aun. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pun menyerukan untuk berpuasa pada hari tersebut.
Peringatan maulid Nabi, menurut Ibn Hajar dan as-Suyuti merupakan ungkapan syukur atas diutusnya Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam ke muka bumi.
Hujjah ini ditolak oleh ulama lainnya. Mereka menganggapnya sebagai alasan yang dipaksakan, mengingat dasar suatu ibadah adalah adanya dalil yang memerintahkannya dan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bukan pada logika, analogi dan istihsan.
Puasa 'Asyura termasuk sunnah yang telah dipraktikkan dan diserukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, sedangkan peringatan maulid tidak pernah dilakukan apalagi diserukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Sebaliknya, beliau telah mewanti-wanti ummatnya dari membuat-buat bid'ah, seperti dalam sabdanya, "Jauhilah amalan yang tidak aku contohkan (bid`ah), karena setiap bid`ah sesat." (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Benar bahwa kita dituntut untuk senantiasa mensyukuri nikmat Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan nikmat terbesar yang tercurah pada umat ini adalah diutusnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sebagai seorang rasul, bukan saat dilahirkannya. Karenanya, Al Qur'an menyebut pengutusan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sebagai nikmat,
لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آَيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
"Sungguh Allah telah memberikan karunia kepada orang-orang beriman ketika Allah mengutus kepada mereka seorang Rasul di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri." (QS. Ali Imran: 164).
Ayat ini sama sekali tidak menyinggung kelahiran beliau dan menyebutnya sebagai nikmat. Seandainya peringatan tersebut dibolehkan, seharusnya yang diperingati adalah hari ketika beliau dibangkitkan menjadi nabi, bukan hari kelahirannya. Lagi pula, status Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang mensyariatkan puasa Asyura' berbeda dengan status umatnya. Beliau adalah musyarri' (pembuat syariat), adapun umatnya hanya muttabi' (pengikut), sehingga tak dapat disamakan dan dianalogikan dengan beliau.
Dan sekiranya peringatan maulid merupakan bentuk syukur kepada Allah, tentu tiga generasi terbaik, serta para imam mazhab yang empat tidak ketinggalan untuk melakukan peringatan tersebut, sebab mereka adalah orang-orang yang pandai bersyukur, sangat cinta pada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan sangat antusias mengerjakan berbagai kebaikan.
. . sekiranya peringatan maulid merupakan bentuk syukur kepada Allah, tentu tiga generasi terbaik, serta para imam mazhab yang empat tidak ketinggalan untuk melakukan peringatan tersebut, . .
Hal yang juga mengundang tanya, mengapa ungkapan rasa syukur, penghormatan dan pengagungan pada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam hanya sekali dalam setahun, 12 Rabi’ul Awwal saja? Bukankah bersyukur kepada Allah, mengagungkan dan mencintai Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dituntut setiap saat dengan menaati dan selalu ittiba’ pada sunnahnya?
Kedua: Nabi memeringati hari kelahirannya dengan berpuasa.
Sebagian beralasan dengan puasa seninnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang merupakan hari kelahirannya. Ketika beliau shallallahu 'alaihi wasallam ditanya mengenai puasa Senin, beliau pun menjawab, “Hari tersebut adalah hari kelahiranku, hari aku diangkat sebagai Rasul atau pertama kali aku menerima wahyu.” (HR. Muslim). Ini menunjukkan bolehnya memeringati hari kelahirannya.
Alasan ini juga tidak dapat diterima, karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah puasa pada tanggal yang diklaim sebagai kelahirannya, 12 Rabi'ul Awwal. Yang beliau lakukan adalah puasa pada hari Senin. Seharusnya kalau ingin mengenang hari kelahiran Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dengan dalil di atas, maka perayaan maulid diadakan tiap pekan, bukan sekali setahun.
Selain itu, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam juga tidak berpuasa hanya pada hari Senin setiap pekan, tapi juga hari Kamis. Alasan beliau, "Keseluruhan amalan diperhadapkan kepada Allah pada hari Senin dan Kamis sehingga aku senang amalanku diperhadapkan kepada Allah sedang aku dalam keadaan berpuasa." (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi).
Sehingga berdalih dengan puasa Senin tanpa hari Kamis termasuk pemaksaan dan dibuat-buat. Dan kalau alasan tersebut dapat diterima, mestinya peringatannya dilakukan dalam bentuk puasa, bukan berfoya-foya dan makan-makan.
Ketiga: Peringatan maulid Nabi dianggap sebagai bid’ah hasanah (bid’ah yang baik). Anggapan ini lahir dari klasifikasi sebagian ulama terhadap bid'ah menjadi bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah sayyi’ah (jelek) atau dhalalah (sesat).
Alasan ini dibantah oleh sebagian ulama bahwa peringatan maulid Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak dapat diterima sebagai bid'ah hasanah, karena dalam hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak dikenal sama sekali adanya bid’ah hasanah. Bahkan yang dikatakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan diyakini oleh sahabat adalah setiap bid’ah sesat.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim).
Ibnu Mas’ud radliyallah 'anhu berkata,  “Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wasallam), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.” (HR. ath-Thabrani dan al Haitsami).
Abdullah bin ‘Umar radliyallah 'anhu menyatakan, “Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” (Al Ibanah al Kubra libni Baththah, 1/219).
Keempat: Peringatan Maulid merupakan salah satu sarana untuk lebih mengenal sosok Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Tidak ada perselisihan di kalangan ulama tentang pentingnya mengenal sosok Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Hanya saja, sebagian di antara mereka tidak menerima suatu bid'ah dipoles menjadi sarana kebaikan, karena tujuan yang baik tidak dapat dijadikan alasan untuk menghalalkan segala cara. Lagi pula, mengenal sosok beliau tidaklah pantas dibatasi oleh bulan atau tanggal tertentu. Jika ia dibatasi oleh waktu tertentu, apalagi dengan cara tertentu pula, maka sudah masuk ke dalam lingkup bid’ah. Lebih dari itu, upaya mengenal sosok beliau lewat peringatan maulid merupakan salah satu bentuk tasyabbuh (meniru-niru) orang-orang Nashrani yang merayakan kelahiran Nabi Isa 'alaihis salam melalui natalan. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ, فَهُوَ مِنْهُمْ
Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud serta dishahihkan oleh Ibnu Hibban).
. . upaya mengenal sosok beliau lewat peringatan maulid merupakan salah satu bentuk tasyabbuh (meniru-niru) orang-orang Nashrani yang merayakan kelahiran Nabi Isa 'alaihis salam melalui natalan.
Mengenal sosok Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dengan membaca dan mengkaji sirah, biografi dan sunnah beliau seharusnya dilakukan sepanjang waktu, sebagaimana para sahabat mengajarkannya kepada anak-anak mereka setiap waktu.
Seharusnya cinta Nabi dibuktikan dengan meneladani dan mengikuti sunnah-sunnah beliau, bukan dengan menyelisihi perintah atau melakukan sesuatu yang tidak ada tuntunannya.
Wallahu A’laa wa A’lamu bis-shawab
(PurWD/voa-islam)

Referensi:
1.    Fathul Baari, Ibnu Rajab al Hambali
2.    Fathul Bari, Ibnu al Hajar al 'Ashqalani
3.    Bulughul Maram, Ibnu al Hajar al 'Asqalani
4.    Syarh Shahih Muslim, Imam an Nawawi,
5.    Antara Cinta Rasul dan Maulid Nabi, Ustadz Abu Yahya Salahuddin Guntung, Lc.
6.    Tafsir al Qur'an al 'Adzim, Abu al Fida' Ibnu Katsir

Minggu, 09 Januari 2011

Urgensi Berpikir

Berpikir adalah pekerjaan kita sehari-hari. Namun sayangnya, kebanyakan manusia hanya menggunakan sedikit sekali potensi berpikir. Padahal berpikir adalah kunci menuju sukses dan kebahagiaan. Bahkan, masih banyak orang yang belum mengerti proses berpikir tersebut. Dalam Al Quran, ada banyak kata yang kita artikan berpikir. Mengapa banyak? Karena memang masing-masing memiliki makna dan proses yang berbeda. Sejauh mana kita mengetahui cara berpikir? Jika caranya saja kita belum mengerti, bagaimana kita bisa melakukannya? Dan, kenapa harus report memikirkan tentang berpikir? Berpikir adalah menghadirkan dua pengetahuan untuk mendapatkan pengetahuan ketiga. Disebut tafakkur karena dalam semua proses itu menggunakan dan menghadirkan pikiran. Namun, berpikir tidak hanya disebut dengan istilah tafakur saja, masih ada istilah lain yang perlu kita fahami masing-masing agar kita mampu berpikir lebih baik dan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kita.
  • Dan, disebut tadzakkur karena menghadirkan ilmu yang harus diingat-ingat setelah terlupa dan hilang.
  • Disebut nadhar karena melihat dengan mata hati pada hal yang dipikirkan.
  • Adapun disebut ta’ammul karena mengulang-ulang pikiran sampai terlihat jelas dan terbuka bagi hatinya.
  • Sementara itu, disebut i’tibar (wazan ifti’al dari kata ‘ubur yang berarti menyeberangi) karena dia menyeberang dari suatu hal ke hal yang lain; dia menyeberang dari hal yang dipikirkannya menuju ke pengetahuan ketiga. Yang disebut dengan pengetahuan ketiga ini adalah tujuan dalam i’tibar itu.
  • Oleh karenanya, hal itu pun disebut sebagai ‘ibrah. Kata Ibrah mengikuti wazan isim haal seperti kata jalsah, rikbah dan qitlah. Ini untuk menunjukkan bahwa ilmu dan pengetahuan telah menjadi haal (karakter) bagi pemiliknya.
  • Disebut tadabbur karena merupakan perenungan tentang akibat dan akhir suatu perkara.Jadi, arti mentadaburi suatu kalimat adalah memikirkannya dari bagian awal sampai akhir, kemudian mengulang-ulangi perenungannya. Oleh karena itu, bentuknya mengikuti wazan tafaa’ul, seperti tajarru’, tafahhum, dan tabayyun.
  • Dan disebut istibshar, wazan istif’al dari kata tabasshur yang berarti jelas dan tersingkapnya sesuatu hal di depan bashirah (mata hati).
Baik tadzakkur maupun tafakkur punya faedah masing-masing. Tadzakkur berarti hati mengulang-ulang apa yang diketahuinya agar tertanam dengan kuat di dalamnya, sehingga tidak terhapus dan pudar dari dalam hati secara keseluruhan. Adapun tafakur berarti memperbanyak ilmu dan mencari apa yang belum ada di hati. Jadi tafakur itu gunanya mencari ilmu dan tadzakkur berguna untuk menjaganya.
Jadi, tafakkur dan tadzakkur adalah benih ilmu. Saling bertanya adalah siramannya, dan mudzakarah adalah pembuahannya.
Kebaikan dan kebahagiaan itu tersimpan di dalam sebuah gudang, kuncinya adalah tafakkur. Jadi harus ada tafakkur dan ilmu. Apabila dari proses itu kemudian hati memperoleh ilmu, maka setiap orang yang melakukan suatu hal yang baik atau buruk pasti ada satu kondisi di hatinya yang terwarnai oleh ilmunya. Kondisi itu melahirkan iradah (kehendak), dan iradah melahirkan amal.
Sampai di sini ada lima hal:
  1. berpikir,
  2. buahnya, yaitu ilmu,
  3. buah dari keduanya, yaitu keadaan yang terwujud bagi hati,
  4. buah yang ditimbulkannya, yaitu iradah, dan
  5. buah iradah, yaitu amal.
Dengan demikian, ilmu adalah titik permulaan dan kunci segala kebaikan.
Hal ini tentu membuktikan keutamaan dan kemuliaan tafakkur. Hal itu juga membuktikan bahwa tafakkur tergolong amal hati yang paling utama dan paling bermanfaat bagi hati itu sendiri; sampai dikatakan, “Tafakkur sesaat lebih baik dari ibadah setahun.” Hanya berpikir yang dapat mengubah seseorang dari matinya kecerdasan kepada hidupnya kesadaran, dari kebencian kepada cinta, dari rakus dan tamak menjadi zuhud dan qana’ah, dari penjara dunia ke cakrawala akhirat, dari sempitnya kebodohan ke lapangnya ilmu, dari penyakit syahwat dan cinta kehidupan fana ini ke sehatnya taobat kepada Allah dan mengesampingkan dunia, dari musibah buta, tuli, dan bisu ke nikmat melihat, mendengar, dan paham tentang Allah. Juga dari penyakit-penyakit syubhat (keraguan) ke sejuknya keyakinan dan tenteramnya dada.
[Sumber: Kunci Kebahagiaan, karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Penerbit Akbar Media Aksara]
Mudah-mudahan kita menjadi umat yang mau berpikir dengan sebaik-baiknya sehingga bisa mendapatkan manfaatnya yang luar biasa.

Kamis, 06 Januari 2011

Perjuangan dan Kesabaran

Hidup adalah perjuangan. Itu kata orang. Memang benar, dalam hidup akan penuh dengan perjuangan. Terutama bagi mereka yang memiliki cita-cita besar, baik cita-cita pribadi maupun cita-cita dalam dakwah. Bagi mereka yang tidak memiliki cita-cita besar, tidak akan mampu melihat bahwa hidup penuh dengan perjuangan. Yang ada di depan mereka hanyalah bagaimana mencari kesenangan belaka. Jika Anda merasa bahwa hidup penuh tantangan, halangan, rintangan, dan ujian, artinya hidup Anda memang penuh perjuangan. Anda termasuk orang yang memiliki cita-cita yang tinggi, baik meraih pencapaian yang besar maupun melepaskan diri dari masalah besar yang menghimpit. Satu hal yang diperlukan dalam perjuangan adalah kesabaran.

Apa Itu Kesabaran?

Secara singkat, sabar bisa didefinisikan sebagai ridha, tenang, teguh, dan yakin. Sabar bukan berarti diam dan menyerah. Justru orang yang diam dan menyerah bertolak belakang dengan definisi sabar. Rasulullah saw adalah orang yang paling sabar dan selalu sabar, tetapi beliau tetap berperang, tenang saat menghadapi tekanan, dan yakin bahwa kemenangan akan dicapai.
Amru bin Usman mengatakan, bahwa sabar adalah keteguhan bersama Allah, menerima ujian dari-Nya dengan lapang dan tenang. Hal senada juga dikemukakan oleh Imam Al-Khawas, “Sabar adalah refleksi keteguhan untuk merealisasikan Al-Qur’an dan sunnah. Sehingga sabar tidak identik dengan kepasrahan dan ketidakmampuan. Rasulullah saw. memerintahkan umatnya untuk sabar ketika berjihad. Padahal jihad adalah memerangi musuh-musuh Allah, yang klimaksnya adalah menggunakan senjata (perang).” [Sumber: Dakwatuna.com]
Anda tidak akan pernah mencapai 1.000 langkah jika Anda kehilangan kesabaran di tengah jalan. Perjuangan akan memberikan hasil, dan pasti akan memberikan hasil, jika diiringi dengan kesabaran. Namun, pada kenyataanya, kesabaran sering kali melemah. Saat 100 langkah sudah berlalu, rasa letih mulai menghinggapi diri, maka kesabaran bisa saja berangsur turun. Sampai-sampai, orang yang lemah kesabarannya mengatakan bahwa sabar ada batasnya. Sabar terasa begitu sulit.
Memang benar, sabar itu berat. Bagi kebanyakan orang, sabar itu memang berat, kecuali bagi mereka yang khusyuk.
Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) salat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya. (QS. Al Baqarah:45-46)
Sabar menghadapi kesulitan dan mengerjakan shalat memang berat bagi orang yang tidak khusyuk. Ayat diatas pun menjelaskan kepada kita apa makna khusyuk tersebut (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.
Kata kuncinya dikata “meyakini”. Meyakini bahwa mereka akan menemui Allah dan mereka akan kembali kepada-Nya. Keyakinan ini, akan menjadikan merekan memiliki cara pandang bahwa nilai dan harga dunia seluruhnya adalah menjadi kecil. Jika seluruh dunia saja kecil, apalagi masalah yang kita hadapi menjadi lebih kecil lagi.

Agar Kesabaran Tetap Ada

Karena itulah, selain sabar, kita pun diperintahkan meminta pertolongan melalui shalat. Shalat adalah penolong yang tidak akan hilang dan bekal yang tidak ada habisnya. Sabar adalah masalah hati, sementara shalat adalah cara agar kita terus memperbaharui hati kita. Dengan shalat, kita yang lemah ini, akan terhubungan dengan Allah Yang Mahakuat dan Mahakuasa. Jelas sudah, bahwa shalat akan menaikan kembali kesabaran kita.

Allah Bersama Orang-orang Yang Sabar

Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS. Al Baqarah:153)
Allah bersama-sama orang yang sabar, menguatkan, memantapkan, meneguhkan, mengawasi, dan menghibur mereka. Allah sebagai tempat bergantung, sehingga kita akan terlepas dari keputus-asaan saat menjalani perjuangan.
Hidup memang penuh dengan perjuangan, tetapi selama kita bersabar kita tidak perlu takut karena Allah bersama orang-orang yang sabar